Hari Gizi Nasional 25 Januari 2024
Hari Gizi dan Makanan Nasional telah menjadi momen penting untuk menyoroti peran gizi dan makanan, dalam menjaga kesehatan masyarakat. Hal tersebut berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan kesehatan.
Sejarah Hari Gizi dan Makanan Nasional diawali dengan dibentuknya Lembaga Makanan Rakyat (LMR). Pada tahun 1950, Menteri Kesehatan dr. J. Leimena menunjuk Prof. Poorwo Soedarmo menjadi kepala LMR. Selanjutnya, LMR mendirikan Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada tanggal 25 Januari 1951.
SDPM menjadi pionir lembaga resmi pengkaderan tenaga gizi. Selanjutnya mulai bermunculan lembaga – lembaga lain di bidang kesehatan, khususnya lembaga perguruan tinggi yang mencetak tenaga ahli dibidang gizi. Maka dari itu ditetapkanlah dan disepakati bahwa setiap pada tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi dan Makanan Nasional di Indonesia. Pada tahun 1969, Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) mengangkat Prof. Poorwo Soedarmo menjadi ‘Bapak Gizi Indonesia’ atas jasanya dalam membantu memperbaiki gizi masyarakat di Indonesia.
Perayaan ini bertujuan sebagai bentuk komitmen para tenaga gizi, untuk memberi pemahaman kepada masyarakat betapa pentingnya keseimbangan gizi, dalam produksi pangan untuk menjaga kesehatan tubuh. Pada tahun 1970-an, Hari Gizi dan Makanan Nasional telah diambil alih dan terus dilanjutkan oleh Direktorat Gizi Masyarakat yang kemudian menjadi agenda rutin tahunan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Perayaan Hari Gizi dan Makanan Nasional semakin mengalami perkembangan tema dan fokus yang menyesuaikan dengan proses perkembangan yang tengah terjadi. Mulai dari aspek pemenuhan kebutuhan gizi dasar hingga diperluas ke pola makanan sehat dan seimbang, keberagaman pangan, dan edukasi mengenai pemilihan bahan makanan yang tepat.
Masalah gizi di Indonesia saat ini masih didominasi oleh gizi kurang dan stunting. Berdasarkan Riskesdas 2013 – 2018, prevalensi gizi kurang dan stunting menurun berturut – turut dari 19,6% menjadi 17,7% dan dari 37,2% menjadi 30,8%, masih diatas ambang batas yang ditetapkan WHO. Sedangkan, berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020 – 2024, yakni 14%.
katadata.co.id
kumparan.com