VITAMIN C dan COVID-19
Oleh : Wawan S. Irwan
Penulis adalah Staff TU & RT – Bagian Umum, BBPPMPV Bispar Sedang menempuh studi Ilmu Gizi
Dunia di akhir tahun 2019 dikejutkan dengan kehadiran penyakit baru yang menyerang saluran pernafasan yaitu corona virus disease 19 (COVID-19). COVID-19 merupakan jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Virus ini masih satu keluarga dengan virus penyebab penyakit SARS dan MERS yang beberapa tahun lalu juga sempat mewabah di berbagai belahan dunia. Hanya dalam waktu lima bulan, penderita COVID-19 di dunia hampir mencapi 3 juta jiwa dan telah menyebabkan lebih dari 200.000 kematian (Worldometer 2020). WHO pada tanggal 11 Maret 2020 telah menetapkan bahwa wabah COVID-19 sebagai pandemi.
COVID-19 merupakan penyakit yang ditransmisikan melalui droplet atau percikan-percikan yang berasal dari hidung atau mulut penderita COVID-19. Meskipun penyakit ini hanya menyebabkan gangguan pernafasan ringan hingga sedang, orang tua dengan penyakit penyerta, seperti penyakit jantung, diabetes, kanker dan penyakit kronis lainnya, dapat mengalami komplikasi yang serius. Pencegahan dapat dilakukan dengan lebih sering mencuci tangan dengan sabun atau alkohol, tidak menyentuh muka dan social distancing. Informasi mengenai pencegahan ini sudah dipublikasikan secara luas (WHO 2020). Akan tetapi, penyebaran COVID-19 masih belum dapat dikendalikan. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mencari strategi efektif dalam pencegahan COVID-19.
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting untuk peningkatan imunitas. Hal tersebut membuat vitamin C diyakini dapat membantu individu agar terhindar dari COVID-19. Kecukupan vitamin C untuk orang dewasa berkisar 75-90 mg (milligram) per hari (Kemenkes 2019). Menurut EFSA (2004), vitamin C memiliki rentang toksisitas yang lebar. Konsumsi hingga 1000 mg per hari masih dapat dioptimalkan oleh tubuh. Akan tetapi, konsumsi lebih dari 3000-4000 mg per hari dapat menimbulkan efek samping. Adapula yang menetapkan batas atas konsumsi vitamin C yang masih dapat ditoleransi tubuh (UL – Upper Level) yaitu sebesar 2000 mg (Monsen 2000). Namun, di tengah pandemik saat ini, konsumsi vitamin C dalam jumlah besar diduga dapat membantu agar tidak terjangkit COVID-19. Dosis yang dikonsumsi mulai sepuluh hingga dua lima puluh kali lipat. Hal tersebut bukan tidak beralasan. Beberapa penelitian klinis telah menunjukkan efikasi/penyembuhan penggunaan vitamin C dosis tinggi untuk menangani beberapa penyakit seperti, flu (500 mg; kombinasi 1000 mg + Zn 10 mg), infeksi H. pylori (5000 mg), hipertensi (500 mg), dan depresi (1000 mg) (Jrosz et al. 1998; Sasazuki et
al. 2006; Maggini et al. 2012; Juraschek et al. 2012; Amr et al. 2013). Namun, tidak semua hasil penelitian menemukan hasil yang positif (Audera et al. 2001; Forgaty et al. 2003).
Pemberitaan mengenai penggunaan vitamin C dalam penanganan pasien COVID-19 saat ini marak diperbincangkan. Salah satunya yaitu berita yang diterbitkan oleh Newsweek pada tanggal 26 Maret 2020 (link tersedia) bahwa rumah sakit di New York sudah mulai menggunakan vitamin C dosis tinggi untuk penyembuhan pasien COVID-19. Akan tetapi, penanganan ini mendapatkan banyak kritikan karena diduga tidak efektif dan belum ada bukti-bukti ilmiah yang kuat (Harvard Medical School 2020). Menurut Carr (2020), penelitian klinis terkait vitamin C dan COVID-19 relatif baru dimulai dan hasil-hasilnya baru dapat dilaporkan di penghujung tahun 2020. Meskipun demikian, potensi vitamin C untuk pencegahan COVID-19 diduga memiliki peluang yang lebih besar.
Vitamin C dilaporkan dapat meningkatkan imunitas tubuh sehingga berpotensi mencegah COVID-19. Vitamin C merupakan antioksidan kuat sehingga dapat menurunkan stress oksidatif dan inflamasi. Kondisi ini meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu, vitamin C juga mampu meningkatkan aktivitas limfosit dan fagositosis yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh (Stanislavovich 2017). Menurut Chambial et al. (2013), vitamin C menstimulasi sel natural killer (NK) dan diferensiasi Th1 dari Th0. Th1 merupakan sel yang aktif menskresikan sitokin yang berperan membunuh patogen. Selain itu, vitamin C mampu menstimulasi fungsi neutrofil melalui peningkatan kemotaksis, aktivitas ingesti, dan aktivitas lisozim.
Manfaat-manfaat vitamin C yang telah disebutkan di atas dapat diperoleh tubuh cukup dengan mengonsumsi dalam jumlah sesuai rekomendasi angka kecukupan gizi. Konsumsi dalam dosis tinggi masih dalam perdebatan. Menurut Cheng (2020), vitamin C dosis tinggi untuk manajemen pencegahan COVID-19 sangat memungkinkan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas antioksidan yang dimiliki vitamin C dapat melawan ‘cytokine storms” yang biasanya ditimbulkan akibat bakteri atau virus yang mulai menginfeksi tubuh. Menurut Mikirova et al. (2012), vitamin C dapat menekan sitokin pro-inflamasi, seperti IL-1α, IL-2, IL-8, CRP dan TNF- α. Selain itu, penggunaan vitamin C dosis tinggi relatif aman sehingga Cheng (2020) menyarankan vitamin C sebagai alternatif pencegahan COVID-19. Hal ini didukung dengan laporan kasus sebelumnnya yang menunjukkan vitamin C dosis tinggi mampu meningkatkan kemotaksis, fagositosis dan memperbaiki stress oksidatif pada kasus terjangkit virus H1N1, influenza, virus Zika dan demam Chikungunya (Elly 2007; Gonzalez et al. 2014; Duconge et al. 2016). Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, belum ada publikasi yang melaporkan vitamin C dalam mencegah COVID-19. Menurut Harvard Medical School (2020), dengan tidak adanya laporan ilmiah, pencegahan COVID-19 dengan vitamin C dosis tinggi belum dapat
direkomendasikan sehingga hingga saat ini belum ada suplemen yang dapat mencegah COVID-19. Laporan lain dari Harvard Medical School (2017) menyebutkan bahwa suplementasi dengan dosis tinggi (>200 mg) pada populasi sehat tidak dapat menurunkan risiko flu dan hanya berdampak pada orang yang extremely active, seperti atlet dan tentara.
Vitami C adalah zat gizi penting dalam tubuh terutama dalam meningkatkan imunitas. Akan tetapi, konsumsi vitamin C dalam dosis tinggi pada orang normal dapat disimpulkan kurang efektif dalam pencegahan COVID-19. Vitamin C merupakan zat gizi larut air yang apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih akan dibuang melalui urin dan relatif tidak disimpan di dalam tubuh. Selain itu, konsumsi melebihi 2000 mg per hari dapat menimbulkan diare, kram, dan risiko batu ginjal (Harvard Medical School 2020). Suplementasi mungkin diperlukan pada orang yang benar-benar mengalami defisiensi atau kekurangan sehingga dapat mencukupi kebutuhan hariannya. Akan tetapi, konsumsi sayur dan buah yang tinggi vitamin C lebih direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan harian. Oleh karena itu, mengikuti protokol kesehatan, mencuci tangan dengan sabun, tidak menyentuh muka, dan social distancing masih menjadi cara efektif untuk pencegahan COVID-19.
Referensi
Amr, M., El-Mogy, A., Shams, T., Vieira, K., & Lakhan, S. E. (2013). Efficacy of vitamin C as an adjunct to fluoxetine therapy in pediatric major depressive disorder: a randomized, double-blind, placebo-controlled pilot study. Nutrition journal, 12(1), 31.
Audera, C., Patulny, R. V., Sander, B. H., & Douglas, R. M. (2001). Mega‐dose vitamin C in treatment of the common cold: a randomised controlled trial. Medical journal of Australia, 175(7), 359-362.
Carr, A. C. (2020). A new clinical trial to test high-dose vitamin C in patients with COVID-19. Critical Care, 24(1), 1-2.
Chambial, S., Dwivedi, S., Shukla, K. K., John, P. J., & Sharma, P. (2013). Vitamin C in disease prevention and cure: an overview. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 28(4), 314-328.
Cheng, R. Z. (2020). Can early and high intravenous dose of vitamin C prevent and treat coronavirus disease 2019 (COVID-19)?. Medicine in Drug Discovery, 5, 100028.
Duconge, J., Rodríguez-López, J. L., Pedro, A., & Adrover-López, B. S. (2016). High dose intravenous vitamin c treatment for zika fever. JOM, 31(1), 19.